BUDAYA KKN DI INDONESIA (DARI PEJABAT HINGGA RAKYAT)
BUDAYA
KKN DI INDONESIA (DARI PEJABAT HINGGA RAKYAT)
Sampai sekarang ini tentu kita masih ingat dengan yang
namanya gerakan reformasi sekitar tahun 1998. Pada saat itu
banyak sekali elemen masyarakat yang mendukung adanya reformasi. Dari kalangan
akademisi, budayawan, ormas, LSM, elemen mahasiswa, buruh dan lain-lain bersatu
menyuarakan reformasi untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang saat itu dinilai
amat sangat diktator. Sebagai akibatnya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
yang berkembang dengan suburnya. Terlebih dengan adanya pembredelan terhadap
dunia pers sehingga hal-hal yang seharusnya itu bisa transparan diketahui
publik justru di peti-es kan.
Sepuluh tahun lebih kita sudah melewati reformasi. Tapi apa yang terjadi hingga hari ini? Kita bisa menyaksikan bahwa menumpas yang namanya budaya KKN itu begitu amat sangat susahnya. Orang-orang yang dahulu mengobarkan reformasi justru ketika ia menjabat, katakanlah, menjadi politisi atau penguasa justru malah berlomba-lomba mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri pribadi dan golongannya.
Sepuluh tahun lebih kita sudah melewati reformasi. Tapi apa yang terjadi hingga hari ini? Kita bisa menyaksikan bahwa menumpas yang namanya budaya KKN itu begitu amat sangat susahnya. Orang-orang yang dahulu mengobarkan reformasi justru ketika ia menjabat, katakanlah, menjadi politisi atau penguasa justru malah berlomba-lomba mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri pribadi dan golongannya.
Seseorang bisa lepas dari jeratan hukum dengan
memberikan uang besar kepada pihak-pihak yang mengangani permasalahanya. Bahkan
meski dia masuk bui ia bisa mendapatkan fasalitas istimewa layaknya tinggal di
hotel seperti kasus Sidak di Rutan Pondok Bambu yang menemukan Artalita Suryani
yang terlibat kasus suap justru dengan nikmatnya menempati Rutan tersebut.
Kemudian kita juga masih banyak menemui seorang pejabat yang mengangkat keluarga
atau kelompokya untuk bisa menjadi pegawai dengan mudahnya tanpa tes seperti
masyarakat umumnya, katakanlah untuk menjadi PNS misalnya. Di sisi lain,
seseorang warga negara yang mau mengurus administrasi di tingkat kelurahan
seperti KTP baru dilayani ketika ia mau mengasih persenan untuk para petugas
jika urusannya mau selesai. Padahal kita tahu bahwa petugas tersebut memang
sudah tugasnya melayani warga. Ia sudah mendapatkan gaji/bengkok dari negara.
Kenapa musti ia pasang tarif ketika melaksanakan tugas-tugasnya? Fenomena
tersebut menjadi biasa di pandangan kita karena kegiatan tersebut sudah
membudaya sejak lama di sekitar kita. Kalau pada zaman dahulu orang kecil harus
jalan nunduk-nunduk ketika ia berjalan melewati depan seorang pejabat atau
penguasa. Kita bukannya tidak menghormati orang lain tapi disitu memperlihatkan
bahwa seorang pejabat/penguasa itu lebih tinggi dari rakyat diterapkan dengan
kakunya sehingga ketika berdiripun tidak bisa sejajar. Padahal derajat
seseorang itu tidak akan turun jika kita juga bisa menghargai orang lain
sebagai manusia biasa yang juga butuh dihargai. Dan menempatkan sesuatu pada
tempatnya.
Sementara budaya KKN di tengah rakyat biasa misalnya.
Seorang pembantu ketika tetangga bosnya butuh pembantu ia menawarkan temannya.
Giliran ketika temannya itu sudah menjadi pembantu ia minta persenan juga sama
rekannya tersebut. Dan rekannya tersebut juga mengiyakan saja karena ia dapat
kerja karena temannya maka ia wajib mengasih persenan untuk yang telah
mencarikan kerja. Padahal kita tahu berapa sih pendapatan seorang pembantu
dibandingkan dengan harga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saat ini. Hal
semacam itu sudah lumrah terjadi di masyarakat. Tolong-menolong yang dahulu
bersifat sukarela saat ini juga dijadikan nilai uang. Yah…itulah kenyataan yang
ada hingga kini. Ternyata budaya KKN sangat sulit dihilangkan. Bukan hanya
pejabat tapi rakyat juga terbiasa KKN.
Salah satu cara menghilangkan KKN di Indonesia adalah
dari diri kita masing-masing yaitu dengan menambah keimanan kita untuk
menghindari perbuatan yang juga dilarang oleh agama.
Komentar
Posting Komentar